Senin, 03 November 2025

Ke Puncak Gunung Mongkrang

Ke Puncak Gunung Mongkrang

Jika tulisan saya ini dibaca pendaki gaek, tentu akan ditertawakan habis-habisan, masak seorang pendaki kok Cuma ke Mongkrang? Iya, bukit Mongkrang yang ada di Desa Gondosuli Kecamatan Tawangmangu Karanganyar bukanlah termasuk gunung yang menjadi legenda bagi sejarah pendakian. Tidak seperti Gunung Rinjani, Gunung Semeru, Gunung Slamet, ataupun Gunung Gede Pangrango dengan lembah Mandalawanginya yang menjadi jalur pendakian favoritnya Soe Hok Gie. Tapi manusia diperbolehkan menuliskan sejarahnya sendiri, dan manusia bebas menentukan ke mana kakinya akan dilangkahkan, termasuk bebas ke gunung mana ia akan mendaki, itulah yang menjadi salah satu ciri dari manusia merdeka.

Tapi tak apalah walau tak terlalu tinggi dengan puncak yang berada di 2.194 Mdpl cukup rasanya untuk memeras keringat, berolahraga dengan gembira, mandi cahaya matahari pagi, memanen kemurnian oksigen, dan tentu juga dalam rangka mentadabburi dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Allah Swt.

Akhirnya pada kesempatan liburan sekolah, awal tahun 2025, saya bersama sahabat pendaki dari Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan, menuju Gunung Mongkrang untuk meredakan ketegangan syaraf setelah sekian waktu bergulat dengan aktivitas sehari-hari. Sebelum fajar shubuh merekah, saya bersama sahabat-sahabat pendaki telah meluncur menuju Karanganyar Jawa Tengah, di mana Gunung Mongkrang berdiri dengan gagahnya mendampingi Gunung Lawu.

Untuk menuju puncak Mongkrang jalurnya cukup nyaman, dari bascamp menuju puncak memakan waktu kurang lebih 3 jam.  Di setiap pos atau di lokasi yang sekiranya bagus kami tentu tak lupa mendokumentasikannya dalam jepretan kamera handphone. Puncak Candi 1, Puncak Candi 2, masuk sabana rumput dan ilalang, baru kemudian menuju puncaknya yang menjadi akhir dari tujuan pendakian kami.

Setelah melepas lelah, kami pun segera turun. Karena jika terlalu lama berhenti kami khawatir timbul rasa nyaman, dan akhirnya malas untuk turun dan pulang lembali. Karena kondisi menurun, perjalanan turun seharusnya lebih cepat, tapi saat turun memasuki pos dua hujan turun dengan lebatnya. Mau  tidak mau perjalanan sedikit terhambat. Jalanan licin, sehingga kami harus ekstra hati-hati. Agar tidak terlalu kedinginan, kami pun memakai jas hujan plastik yang kami beli di toko. Walau tipis, jas itu menolong kami dari kedinginan akut. Alhamdulillah setelah menerjang hujan selama beberapa waktu kami pun sampai di bascamp. Setelah berbenah, kami pun langsung meluncur pulang.

Mungkin tidak banyak yang bisa saya dokumentasikan dan saya ceritakan perjalanan pendakian ke Gunung Mongkrang ini, namun kesan dan atsar batin setelah pendakian ke gunung itu mengabadi dalam palung hati, terpatri dalam lembaran kebahagiaan jiwa. Tidak begitu kelihatan tapi cukup terasakan. 

Karena bagi saya mendaki gunung bukan sekedar menuruti kesenangan hati, mendaki gunung bukan hanya untuk berbangga diri, mendaki gunung pada hakekatnya adalah mendaki pada puncak kesadaran diri. Mendaki gunung adalah bagian dari kemerdekaan jiwa manusia, jiwa itu melayang bagai kapas menuju puncak pendakian, walau sejatinya tujuan dari pendakian bukan berada di ketinggian, justru mendaki adalah menaklukkan puncak ego masing-masing, dan meletakkannya pada lembah kesadaran jiwa. 

Setiap ke gunung saya selalu bertanya untuk apa? Dan selalu saja ada jawaban yang berbeda di setiap langkah dan jejak kaki pendakian. Karena mendaki adalah seni, seni untuk lebih deep in love with Allah Swt. Salam.

Sabtu, 30 Agustus 2025

Ke(tidak)adilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Ke(tidak)adilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Oleh: Joyo Juwoto

"Apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli"

"Apa gunanya banyak baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu"

Petikan puisi Wiji Thukul yang berjudul "Apa Guna" di atas menampar diriku sejadi-jadinya, tidak berlebihan rasanya apa yang ditulis dan disuarakan oleh penyair yang entah di mana ia sekarang, melihat kondisi bangsa Indonesia hari ini rasa-rasanya kurang etis dan miskin empati jika kita masih mengatakan "Indonesia sedang baik-baik saja". Saya tidak sedang frustrasi, saya tidak sedang pesimistis melihat kondisi negara yang kita cintai ini, setidaknya kita perlu membuka mata bahwa kondisi negara memang sedang tidak baik-baik saja.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela di berbagai sektor pemerintahan kita, padahal virus KKN ini yang dulu saat Orde Baru kita musuhi bersama, ini yang dulu menjadi salah satu pemicu pemerintahan Orde Baru tumbang, tapi nyatanya hari ini praktek KKN justru makin parah dan dilakukan secara terang-terangan, dilakukan di bawah terik matahari siang bolong. Edan.

Demo besar-besaran yang terjadi di Pati beberapa hari silam, yang digawangi oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, membuka mata kita bahwa ketidakadilan benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Bayangkan saja, saat rakyat ekonominya melemah, daya beli masyarakat menurun, pengangguran di mana-mana, alih-alih mencari solusi, justru pemerintah Kabupaten Pati membuat kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat, bahkan mencekik urat nadi kehidupan masyarakat yaitu dengan menaikkan pajak. Seketika rakyat menjerit. Rakyat berbondong-bondong mendemo Bupati Sudewo. 

Dalam skala nasional isu kesenjangan sosial juga mencuat, para pejabat menunjukkan sikap yang arogan dan abai terhadap kepentingan rakyat. Masyarakat sedang susah pejabat hidup bermewah-mewah, masyarakat sedang berduka karena apa-apa tak terbeli, pejabat bersuka cita memamerkan gaya hidup hedoni. 

DPR yang sejatinya sebagai penyambung lidah rakyat ternyata tidak bisa dipegang janjinya saat kampanye, mereka juga tidak mampu menerjemahkan keinginan rakyat di sidang-sidang DPR, justru yang terjadi para anggota dewan ini dianggap kurang dan tidak memiliki empati atas kondisi rakyat yang semakin hari semakin susah. 

Saat momen kemerdekaan tunjungan DPR dinaikkan, sedang kinerja mereka yang berpihak kepada rakyat entah ada atau tidak, pada momen ini sebagian besar anggota DPR berjoged ria, kemarahan tak terbendung lagi, rakyat yang sudah muak dengan DPR menjadi terpantik, demo besar-besaran pun digelar di depan gedung DPR yang terhormat itu.

Pancasila mengamanahkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi pengambil kebijakan di lingkaran pemerintah justru mengamalkan "ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia". Rakyat jelata makin sengsara, pejabat berfoya-foya, pejabat bergelimang harta, rakyat miskin dan menderita. 

Belum lagi masalah penegakan hukum dan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang sangat buruk. Siapapun kamu kalau rakyat jangan pernah berharap mendapatkan kemudahan dalam mengakses pelayanan tersebut. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, pendidikan yang layak hanya bisa dinikmati oleh segelintir rakyat, hal yang terkait dengan layanan kesehatan juga tidak memihak rakyat kecil. Jika kau miskin jangan sakit saja, begitu kira-kira semboyan yang sering kita dengar bersama.

Rakyat harus melek politik, rakyat harus punya pilihan wakilnya di DPR yang benar-benar berintegritas, jangan hanya memilih hanya karena amplop, jangan memilih karena disuap, sudah saatnya rakyat memegang teguh kedaulatannya dengan memilih pemimpin dan wakil-wakilnya dengan akal sehat dan kebeningan nuraninya, agar rakyat mendapatkan wakil dan pemimpin yang diberkahi Tuhan, agar keberkahan juga dirasakan oleh rakyat itu sendiri. 

Para pejabat dan wakil-wakil rakyat punya demikian, kalian  mendapat amanah dari rakyat mana jangan pernah khianati amanah itu, memimpin berarti melayani masyarakat, memimpin berarti siap berkhidmat untuk rakyat. 

Pada akhirnya, ke(tidak)adilan yang hari ini kita saksikan bukan sekadar fakta sosial, melainkan tamparan keras bagi cita-cita kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Indonesia seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, bukan hanya bagi segelintir elite yang berkuasa. 

Jika praktik KKN, kesenjangan sosial, pelayanan publik yang bobrok, dan arogansi pejabat terus dibiarkan, maka bangsa ini perlahan-lahan sedang menggali kuburnya sendiri. Kini, pilihan ada pada kita: tetap diam dalam ketidakadilan, atau bersuara demi terwujudnya Indonesia yang benar-benar adil dan beradab.


Bangilan, 30 Agustus 2025

Rabu, 13 Agustus 2025

Senandung Sunyi di Tepi Kali

Senandung Sunyi di Tepi Kali
Oleh: Joyo Juwoto 

Kali kening mengalir hening 
Bening airnya memantulkan cahaya 
Di temaran senja
Rumpun bambu khusyuk berdoa 

Batu-batu, kerikil, dan lumpur kali
Bernyanyi lirih dalam sepi 
Mengeja masa yang entah bagaimana 
Tentang nasib kali yang semakin sunyi

Gremicik air kali memendam asa
Bunga-bunga ilalang tertiup angin senja 
Melukis riak-riak penuh pesona
Di pelataran senja yang kehilangan makna

Arus kali membawa cerita dari hulu 
Tentang gembala yang pulang kandang 
Tentang kerikil yang terhempas diam
Di sudut waktu yang kelam

Di tepi kali, di tepi rindu
Menatap langit yang semarak kelabu 
Ranting-ranting diam membeku
Desah angin membawa bisik yang tak usai 

Dalam keheningan ini, aku temukan diri
Yang hilang dalam arus waktu
Mencari makna dalam remang senja
Menguak rahasia jiwa yang tak terjamah kata


Bangilan, 13 Agustus 2025